Tabloid KONTAN, Edisi 18-24 Juni 2012, oleh Ekuslie Goestiandi, Pemerhati Manajemen.
Tulisan saya berjudul Etika dan Reputasi pada tabloid ini edisi 30 April-6 Mei 2012 mendapat tanggapan dari seorang rekan. Katanya,"Urusan etika itu seperti belut, seringkali begitu nyata namun tak dapat tertangkap tangan."
Intinya, jika etika adalah sebuah aturan main, maka hal tersebut tidak bersifat memaksa dan mengikat. Berbeda dengan hukum positif yang secara tegas mengatur "do" dan "don't" dari sebuah tindakan atau perilaku, berikut sanksi bagi pelanggaran, etika lebih merupakan panduan normatif bagi seseorang untuk bertindak secara pantas, layak, dan bermartabat. Pelanggaran etika tak serta-merta dapat ditafsirkan dan ditindaklanjuti secara formal seperti hukum positif, dan sanksinya sebatas moral.

Ujian implementasi etika, baik etika bisnis dan etika kerja, jadi semakin nyata ketika pelaku organisasi menghadapi conflict of interest atau benturan kepentingan. Yakni, saat kepentingan organisasi berbenturan dengan pribadi. Jika dihadapkan hal itu, pasti tak susah menjawab: Harus mendahulukan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi. Tapi jika seseorang benar-benar dihadapkan dengan kenyataan itu sering menimbulkan komplikasi yang memusingkan.

Beberapa saat yang lalu, seorang mantan CEO menceritakan kepada saya pengalaman conflict of interest yang dialaminya secara nyata. Saat perusahaan yang dikomandaninya hendak menerapkan good corporate governance (GCG), yang mencakup praktik etika bisnis dan etika kerja, dia dihadapkan pada kenyataan bahwa tak hanya menjadi seorang CEO (profesional pengurus perusahaan) namun juga shareholder (pemilik saham perusahaan).

Potensi ganda seperti ini potensial menimbulkan benturan kepentingan, karena menciptakan bias dalam proses pengambilan keputusan. Seseorang akan sulit mengambil keputusan secara objektif, karena potensi mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan organisasi cukup besar. Kalau pun dia benar-benar mengambil keputusan secara objektif, persepsi negatif dari publik juga tak dapat dicegah. Tak mengherankan, prinsip GCG menganjurkan pemisahan tegas antara fungsi kepemilikan dan kepengurusan sebuah organisasi.

Transparan & Akuntabel

Situasi rawan conflict of interest yang dialami mantan CEO itu konsekuensi dari masa transisi perusahaan yang dialaminya. Sebelum go public, perusahaan itu dimiliki seorang pengusaha secara pribadi. Sang pemilik adalah entrepreneur sejati, yang senang membangun kemitraan dengan para profesional di perusahaannya untuk membesarkan portofolio bisnis. Salah satu bentuk kemitraan yang ditempuh adalah memberikan sebagian saham perusahaan kepada para profesional. Sang mantan CEO, sebagai salah satu profesional, tentu saja mendapatkan jatah saham.

Setelah tercatat di bursa, perusahaan harus menunjukkan perilaku organisasi layaknya perusahaan terbuka (Tbk). Yaitu tunduk kepada prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) dengan landasan etika bisnis dan etika kerja yang kuat. Praktik GCG mendorong pemisahan tegas antara fungsi kepemilikan perusahaan (pemegang saham) dan kepengurusan perusahaan (tim manajemen), yang bertujuan mencegah terjadinya moral hazards. Tentu pemisahan fungsi ini menempatkan sang mantan CEO dalam posisi yang tak nyaman, sebagai orang yang saat itu berfungsi ganda akibat warisan praktik bisnis sebelum go public.

Sang mantan CEO menyadari kondisi dilematis ini adalah sebuah fakta organisasi yang harus dihadapi. Baginya, praktik GCG dengan standar etis adalah keniscayaan yang harus ditempuh organisasi yang ingin stabil secara jangka panjang. Namun, ia tak perlu merasa bersalah karena ikut memiliki saham perusahaan yang dikelolanya.

Buat sang mantan CEO, yang penting apa yang dimilikinya dideklarasikan secara terang benderang (transparan) dan apa yang dilakukan diputuskan secara objektif (akuntabel). Bukankah transparansi dan akuntabilitas adalah ciri-ciri utama dari institusi yang menegakkan tata kelola yang baik?

Untuk urusan transparansi, sejak penerapan GCG, sang mantan CEO menjelaskan secara terbuka kepada jajaran organisasi dan juga publik, tentang status kepemilikan sahamnya. Ia ingin menjelaskan, tidak ada sepeser uang atau selembar saham pun yang ia peroleh secara tak pantas. Sementara mengenai akuntabilitas proses pengambilan keputusan, dia bersikap mengambil jarak dalam proses pengambilan keputusan terhadap urusan yang terkait dirinya, baik terkait langsung ataupun tidak.

Secara praktis, ia akan menyerahkan proses pengambilan keputusan untuk urusan seperti itu kepada tim independen dan tidak ikut campur tangan. Apapun keputusan yang diambil oleh tim, akan diterimanya.

Penerapan etika memang tak selalu mudah, apabila berbenturan dengan kepentingan pribadi secara nyata. Saat prinsip etis tak dihidupi dengan baik, mungkin tak ada hukum formal yang memberikan sanksi dan punishment.

Begitu pula, kita bisa menyiasati prinsip etis tersebut dengan seribu argumentasi, namun yang jelas kita tak akan pernah bisa membohongi diri sendiri. "Semaksimal mungkin, saya akan selalu bertindak di atas kesadaran nurani (conscience) saya. Karena, itu yang mendatangkan inner peace di dalam hidup saya," ujar sang mantan CEO menyikapi persoalan etis di dalam kehidupan bisnis dan profesionalnya.

ARTKEL TERKAIT



0 komentar:

Template by - PongkyToding